oleh Mujahiddin Al Faruqul Adzim[2]
Pendahuluan
Pada tanggal 20 Oktober 2014, pasangan pemenang pemilihan presiden dan wakil presiden, Joko Widodo dan M. Jusuf Kalla, dilantik menjadi presiden oleh MPR. Rakyat Indonesia sangat menunggu-nunggu momen ini, terutama momen saat Presiden berpidato. Pidato perdana presiden ini menjadi penting karena merupakan cermin dari agenda besar yang akan dijalankan oleh pemerintahan pada lima tahun ke depan. Selain itu, banyak juga pihak yang menunggu pidato ini karena sebelumnya, saat debat Capres lalu, pidato Joko Widodo dinilai kurang memuaskan. Dengan begitu, pidato perdana Presiden ini pun sebagai pembuktian kemampuan berpidatonya.
Dalam makalah ini, akan dianalisis secara semantik pidato perdana Presiden Republik Indonesia Ke-7, Joko Widodo, saat pelantikannya sebagai presiden. Akan diungkapkan makna apa saja yang terkandung dalam pidato tersebut. Analisis terhadap pidato tersebut menggunakan teori makna menurut Geoffrey Leech. Menurut Lecch (1974:19), terdapat tujuh tipe makna, yaitu makna konseptual, makna konotatif, makna stilistika, makna afektif, makna kolokatif, makna asosiatif, dan makna tematik. Dengan menggunakan teori yang dikemukakan oleh Leech, akan didapatkan tipe makna apa yang paling dominan dalam pidato Perdana Presiden Joko Widodo.
Pidato Perdana Presiden Joko Widodo
Transkrip pidato Presiden Joko Widodo ini diperoleh daru akun Facebook resmi milik Presiden Joko Widodo. Transkrip pidato ini sudah diubah tanda baca seperlunya tanpa mengubah isi, susunan, dan maknanya.
Di Bawah Kehendak Rakyat dan Konstitusi
Bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semuanya. Om swastiastu namo budaya.
Yang saya hormati para pimpinan dan seluruh anggota MPR. Yang saya hormati Wakil Presiden Republik Indonesia. Yang Saya Hormati Bapak Prof. Dr. B.J. Habibie, Presiden Republik Indonesia Ketiga. Yang saya hormati Ibu Hj. Megawati Soekarnopoetri, Presiden Republik Indonesia Kelima. Yang saya hormati Bapak Try Sutrisno, Wakil Presiden Republik Indonesia Keenam. Yang saya hormati Bapak Hamzah Haz, Wakil Presiden Republik Indonesia Kesembilan. Dan yang saya hormati Bapak Prof. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia Keenam. Bapak Prof. Dr. Boediono, Wakil Presiden Republik Indonesia Kesebelas. Yang saya hormati Ibu Shinta Nuriyah Wahid. Yang saya hormati rekan dan sahabat baik saya, Bapak Prabowo Subianto, dan Bapak Hatta Rajasa. Yang saya hormati para pimpinan lembaga-lembaga tinggi negara. Yang saya hormati dan yang saya muliakan Kepala Negara dan pemerintahan serta utusan khusus dari negara-negara sahabat.
Para tamu undangan yang saya hormati, Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, hadirin yang saya muliakan. Baru saja kami, Jokowi dan JK, mengucapkan sumpah. Sumpah itu memiliki spiritual yang amat dalam yang menegaskan komitmen untuk bekerja keras, mencapai kehendak kita bersama sebagai bangsa yang besar. Kini saatnya kita menyatukan hati dan tangan. Kini saatnya kita bersama-sama melanjutkan ujian sejarah berikutnya yang mahaberat, yakni mencapai dan mewujudkan Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Saya yakin tugas sejarah yang mahaberat ini akan bisa kita pikul bersama-sama dengan persatuan, dengan gotong-royong, dan dengan kerja keras. Persatuan dan gotong-royong adalah syarat bagi kita untuk menjadi bangsa yang besar. Kita tidak akan pernah besar jika kita dalam keterbelahan dan keterpecahan. Dan kita tidak pernah betu-betul merdeka tanpa kerja keras. Pemerintahan yang saya pimpin akan bekerja untuk memastikan bahwa setiap rakyat di seluruh pelosok tanah air merasakan kehadiran pelayanan pemerintahan. Saya juga mengajak seluruh lembaga negara untuk bekerja dalam semnagat yang sama dalam menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing. Saya yakin, negara ini akan semakin kuat dan berwibawa jika semua lembaga bekerja memanggul mandat yang telah diberikan oleh konstitusi kita.
Kepada para nelayan, para buruh, para petani, para pedagang bakso, para pedagang asongan, supir, akademisi, guru, TNI, Polri, pegusaha, dan kalangan profesional, saya menyerukan untuk bekerja keras, bahu-membahu, bergotong-royong karena inilah momen sejarah bagi kita semua untuk bergerak bersama, untuk bekerja, untuk bekerja, dan bekerja.
Hadirin yang mulia. Kita juga ingin hadir di antara bangsa-bangsa dengan kehormatan, dengan martabat, dengan harga diri. Kita ingin menjadi bangsa yang bisa menyusun peradaban sendiri. Bangsa besar yang kreatif, yang bisa ikut menyumbangkan keluhuran bagi peradaban global. Kita harus bekerja sekeras-kerasnya untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Samudrea, laut, selat, dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, dan memunggungi selat dan teluk. Kini, saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga “Jalesveva Jayamahe” (di laut justru kita jaya) sebagai semboyan nenek moyang kita di masa lalu bisa kembali lagi membahana.
Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air. Kerja besar untuk bangsa tidak mungkin dilakukan sendiri oleh presiden dan wakil presiden ataupun jajaran pemerintahan yang saya pimpin, tetapi membutuhkan topangan kekuatan bersama, kekuatan kolektif yang merupakan kesatuan seluruh bangsa. Lima tahun ke depan menjadi momentum pertaruhan kita sebagai bangsa yang merdeka. Oleh sebab itu, bekerja, bekerja, dan bekerja adalah yang utama. Saya yakin dengan kerja keras dan gotong-royong kita akan mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Saudara-saudara sebangsa dan setanah air. Atas nama rakyat dan Pemerintah Indonesia, saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya. Kepada yang mulia Kepala Negara, Pemerintahan, serta utusan khusus dari negara-negara sahabat, saya ingin menegaskan, di bahwah pemerintahan saya, Indonesia sebagai negera terbesar ketiga dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sebagai negara kepulauan, dan sebagai negara terbesar di Asia Tenggara akan terus menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Pada kesempatan yang bersejarah ini, perkenankan saya atas nama pribadi, atas nama Wakil Presiden Muhammad Jususf Kalla, atas nama bangsa Indonesia menyampaikan terima kasih dan perhargaan setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono dan Bapak Prof. Dr. Boediono yang telah memimpin penyelenggaraan pemerintahan selama lima tahun terakhir ini.
Hadirin yang saya muliakan. Mengakhiri pidato ini saya mengajak Saudara-saudara sebangsa dan setanah air untuk mengingat satu hal yang pernah disampaikan oleh presiden pertama Republik Indonesia Bung Karno bahwa untuk membangun Indonesia sebagai negara besar, negara yang kuat, negara yang makmur, negara yang damai, kita harus memiliki jiwa “Cakrawarti Samudra”, jiwa pelaut yang berani mengarungi gelombang dan hempasan ombak yang menggulung. Sebagai nakhkoda yang dipercaya oleh rakyat, saya mengajak semua warga bangsa untuk naik ke atas kapal Republik Indonesia dan berlayar bersama menuju Indonesia Raya. Kita akan kembangkan layar yang kuat. Kita akan hadapai gelombang samudra dengan kekuatan kita sendiri dan saya akan berdiri di bawah kehendak rakyat dan konstitusi. Semoga Tuhan yang Maha Esa senantiasa merestui upaya luhur kita bersama.
Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh. Semoga Tuhan memberkati. Om shanti shanti om. Namo budaya.
Merdeka!
Continue reading “Analisis Makna pada Pidato Perdana Presiden Joko Widodo[1]”